SANG PROKLAMATOR IR SOEKARNO
BIOGRAFI
IR.SOEKARNO SANGH PROLAMATOR RI
Aku adalah
putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta
tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama
lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang
berarti "Tuan". "Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah
itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang
memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian
bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah
ahli-warisnya" Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang
diri-nya sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman
Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar . "Kelak engkau akan
menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena
ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita
orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat
matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu,
jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang
fajar." (Adams, 2000:24) "Hari lahirku ditandai oleh angka serba
enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk
dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku
sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan." (Adams, 2000:25) Soekarno
melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu
kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik. "Karena aku terdiri dari
dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala
pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan.
Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu
menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya." Kejadian lain yang
dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Ke-lud saat ia
lahir. Tentang ini ia menyatakan, "Orang yang percaya kepada takhayul
meramalkan, 'Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno," Selain itu,
penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos
lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan
pahlawan bangsanya. Kepercayaan akan pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno
memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya.
Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final
goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi
gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk
mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400). Lebih jauh lagi
ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan
sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Selain itu, di
lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak Belanda yang sudah
terbiasa memandang remeh pribumi. Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di
masa lima tahun pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti
tifus, disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno
menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada
Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit
yang melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat
mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno
kecil. Penjelasan dari ayahnya tentang makna pergantian nama yang memberinya
kebanggaan karena menyandang nama pejuang besar. Pengalaman sakit-sakitan dan
hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa
tuanya, ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari
masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam
terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya.
Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan
keinginan belajar yang tinggi. Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana
gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia
menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia. "Aku ini bukan apa-apa
kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku
penyambung lidah rakyat." Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden
RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia
mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana. Soekarno, sang orator ulung dan
penulis piawai, memang selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian
dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan
betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu
mendapat dukungan dari orang lain. Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato
tiap tanggal 17 Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk,
penggunaan perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa.
Dari tahun ke tahun pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat
massa pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk. Dari kalimat-kalimat itu
dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang yang menggunakannya.
Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya, ia berseru, "Kita
belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah
bersemangat elang rajawali." Di sini ada indikasi ia menempatkan diri
sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga memiliki hak dan
kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki semangat yang sama
dengannya. Seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang
perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti. "Kemerdekaan tidak
menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan
juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu." (Pidato 17 Agustus
1948) "Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat
nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk
mempertahankannya." (Pidato 17 Agustus 1956) "Karena itu segenap jiwa
ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: "Terlepas dari perbedaan apa
pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian
adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini
se-olah-olah adalah buta." (Pidato 17 Agustus 1966) Selain ajakan untuk
berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang
dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh
fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil
membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan kepercayaan tinggi
menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat. "Adakanlah ko-ordinasi,
ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan
kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan
umum." (Pidato 17 Agustus 1951) "Kembali kepada jiwa Proklamasi ....
kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional...
kedua jiwa ichlas... ketiga jiwa persatuan... keempat jiwa pembangunan."
(Pidato 17 Agustus 1952) "Dalam pidatoku "Berilah isi kepada
kehidupanmu" kutegaskan: "Sekali kita berani bertindak revolusioner,
tetap kita harus berani bertindak revolusioner.... jangan ragu-ragu, jangan
mandek setengah jalan..." kita adalah "fighting nation" yang
tidak mengenal "journey's-end" (Pidato 17 Agustus 1956) Keinginannya
untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari kesenangannya tampil di
depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat untuk menggunakan kalimat-kalimat
muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai oleh tindakan konkret-praktis untuk
mencapainya yang ditampilkannya dapat diartikan sebagai usaha memikat hati
rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung gaya hiperbola dan metafora yang
berlebihan seperti "Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit",
"adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri
dan kepentingan umum", "Bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang
berkarat", dan "memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu
sekalipun." Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang
digunakan untuk memikat massa. "Janganlah melihat ke masa depan dengan
Mata Buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata
benggalanya dari pada masa yang akan datang." (Pidato 17 Agustus 1966)
"Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem"? Bangsa yang
'zelfgenoegzaam'? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh
nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak
mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!" (Pidato 17
Agustus 1960) Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh,
bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak
palune pande, ora tedas gurindo. (Pidato 17 Agustus 1963) Strategi
universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-ajaran
agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting dalam
peradaban manusia. Gagasan-gagasannya seolah berlaku universal dan diperlukan
di mana-mana."Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus
menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu
ghoiyiru ma biamfusihim" (Pidato 17 Agustus 1964) "Asal kita setia
kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa
memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun." (Pidato 17
Agustus 1965) "Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil
saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang
nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan." (Pidato
Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945) Strategi naturalisasi merupakan usaha
menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak
alamiah. Ini banyak ditemukan dalam pidato-pidato Soekarno.
Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila sangat jelas menggunakan
naturalisasi. "Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini,
yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia." (Pancasila
sebagai Dasar Negara, hal:38) Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang
menjadi seorang ideolog. Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan
dan kepemimpinannya, mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya.
Gambaran diri yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri
tampil berapi-api di depan lautan massa. Merujuk Adler, benang merah
perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu jelas. Masa dewasanya merupakan
proyeksi dari keinginan masa kecil. Soekarno membayangkan dirinya sebagai
pembaru bangsa sejak kecil. Ia tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan
gagasan-gagasan yang terbilang baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan
belajar berbagai hal tak lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat:
menjadi penyelamat bangsa. Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh
besar terhadap hal ini. Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar
membaca. Kamar tidurnya penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya
serapnya pun luar biasa. Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas
luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan
begitu luas. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan
penting bagi perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan
terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek
spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan.
Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di
benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak bisa
lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial. Kesepian
menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukannya
untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya sebagai orang yang
terasing, terpencil dari rakyat. Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit
yang diderita Soekarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa
berikutnya. Kesakitan yang diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan
lemah, tak berdaya, dan tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan
inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul
kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap
berikutnya hingga terakumulasi menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi
kejiwaan yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan
yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Untungnya lingkungan keluarganya
memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat
menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai
pemimpin yang dominan. Namun, ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan
afeksi. Hingga dewasa kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu
membutuhkan wanita sebagai pegangan. Tokoh Ilmuwan Penemu -
http://www.tokoh-ilmuwan-penemu.com Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan
penjelasan maknanya juga menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan
inferioriti yang dialami Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di
benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang
calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan
mitos-mitos tentang dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung
terpaku pada hal-hal besar dan mengabaikan hal-hal kecil. Dalam kondisi-kondisi
penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa memperoleh perasaan
superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Untuk itu, ia selalu
berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya,
berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat bombastis merupakan cara memikat
hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya.
Namun, di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustrasi dan depresi.
Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di
akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan meninggal dalam kesepian.
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan
beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores.
Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi,
dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan
paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai
Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang
berasal dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme" yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai
titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang
pemuda berumur 26 tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun,
dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis. Marx dan Engels membuka
manifestonya dengan kata-kata "a spectre is haunting Europe--the spectre
of Communism", ada hantu yang menggerayangi Eropa--hantu komunisme.
Soekarno membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto
Soekarno-isch: Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan,
maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang
rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak
senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang
dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa
adanja", sudahlah lalu. Zaman baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai
fadjar jang terang tjuatja. Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto
Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat
dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda,
majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club,
yang juga didirikannya: "Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam
zaman perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus menjadi
secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi
orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji
Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang
Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik, waspada,
tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia
sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai ksatria yang mempunyai 'otot kawat
balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron...
(Ensiklopedi Wayang Purwa, BP, 1991) "Hantu" Gatotkaca selalu kembali
kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan
keluarga Pandawa berlaku semacam standing order:"...bila sewaktu-waktu
menghadapi bahaya, agar memanggil Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain
dari semacam "hantu", spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl
Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie-dan
bukan ontologie sebagaimana Marx selalu ditafsirkan--sebagai keadilan yang
tidak bisa diredusir lagi. Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu
berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi-yaitu kemerdekaan
dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat.
Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah
persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu kembali seperti Gatotkaca untuk
menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan
nasibnya yaitu nasib kolonial yang tak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme
tidak lain dari soal kekurangan rezeki dan "kekurangan rezeki itulah jang
mendjadi sebab rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!". Dalam paham
Soekarno di Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi ketika
"rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia" (untuk
para pembaca muda "mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah
Asia-Penulis). Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa
pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada
mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja".
Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang
dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa
hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh
mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik,
dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno
menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika
memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman
berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847--tahun sesungguhnya
adalah bulan Februari 1848. Semua kekeliruan "kecil" di atas harus
dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru
saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah
tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh
Indonesia Moeda, tidak diperoleh). Nasionalisme Soekarno adalah jenis
nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir
satu-satunya yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas ekonomi-politik.
Karena itu ketika Soekarno mengatakan bahwa: ...asal mau sahadja...tak
kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu
sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin sentausa"
...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala
fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada
waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa persatuan?
karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau
tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan
pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir
seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini
ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca:
Vedi Hadiz) Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa
Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin
Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan
tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto
Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta.
Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik
dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya. (Baca: Agus Sudibyo). Manifesto
itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun,
sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya,
maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi
fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun
sesudah Indonesia merdeka. Secara intelektual dan politik ketika Soekarno
menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa
Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan
soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat
dibencinya yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan
militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian
dia dikhianati militer. Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer,
Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat
disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan-Soekarno
menjadi anti-Soekarno-sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah
lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan
kelak tuan-tuan sawomatang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang
lebih paham tentang penderitaan itu dari Soekarno. Di akhir masa kekuasaannya,
Soekarno sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy
Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakannya. "Aku tak
tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di
larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya
Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah ke tempat
saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu
lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau
saya tertidur, maafkanlah.'... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan
obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah." (Adams, 2000:3) "Ditinjau
secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan
yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah, bukan pikiranmu..
Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu." (Adams,
2000:14) Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang
terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas
bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke
masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah
di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam
buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini
berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal sebagai pemuda
yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91). Indikasi kesepian juga
kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-malam di penjara
menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar
tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang
membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. "Yang paling
menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali
jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding
batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat
menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih
baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan
normal." (Adams, 2000:135) Liku-liku kepribadian Soekarno menunjukkan
bahwa ia adalah orang besar yang mampu melampaui banyak orang dengan
kelebihannya sebagai manusia yang berjasa mendirikan Republik Indonesia, maupun
sebagai pribadi yang selalu terus berusaha mencapai kebaikan bagi dirinya dan
orang lain. Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970. Read more: http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-proklamator-indonesia.html#ixzz1zNZxlr8a
- Tokoh Ilmuwan Penemu - http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-proklamator-indonesia.html
Komentar
Posting Komentar