MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) BUMBU MASAK PENYEBAB SAKIT KEPALA DAN KENKER
MSG dan ”Chinese
Restaurant Syndrome”
PIKIRAN RAKYAT, 26 maret 2006
Pengaruh penambahan MSG atau orang Jepang
menyebutnya umami terhadap rasa makanan sudah diteliti para ahli sejak
tahun 1950-an. Rasa daging panggang, ikan, dan sayur-sayuran pada umumnya
meningkat, namun bahan-bahan yang terbuat dari serealia, produk susu, dan
makanan pencuci mulut, tidak mengalami peningkatan rasa. Pada tahun 1959, Badan
Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memasukkan MSG dalam kategori generally
recognized as safe (GRAS). Dengan demikian, tidak perlu aturan khusus
terhadap MSG karena disamakan dengan garam, gula, merica, dan bahan-bahan alami
lain. Namun, pada tahun 1968 muncul laporan yang mengaitkan MSG terhadap apa
yang disebut dengan Chinese Restaurant Syndrome (CRS).
Laporan yang termuat dalam jurnal New England
Journal Medicine itu berisi keluhan dari beberapa orang yang sebelumnya makan
di restoran Cina. Keluhannya berupa sakit kepala, palpitasi (berdebar-debar),
mual, dan muntah. Meski tidak didukung oleh kajian ilmiah, karena kompisisinya
dianggap signifikan dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebab gejala CRS.
Sebagai respons atas laporan tersebut, dua tahun kemudian FDA menetapkan batas
aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan per hari. Jumlah ini setara dengan
konsumsi aman garam.
Sejak saat itu, sejumlah laporan yang mengaitkan
kemunculan CRS dengan MSG terus bermunculan. Namun, kurang didukung oleh kajian
atau penelitian ilmiah sehingga masyarakat konsumen MSG dibuat bingung.
Apalagi, pada saat yang sama, sejumlah lembaga internasional yang bertanggung
jawab terhadap masalah keamanan makanan, menetapkan MSG sebagai bahan yang aman
dikonsumsi.
Bisa dikatakan, hingga sekarang penggunaan MSG dan
dampaknya terhadap kesehatan masih diliputi kontroversi. Hal ini terutama
disebabkan belum banyaknya penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap
manusia. Sejumlah laporan para peneliti pun memberi hasil yang terbelah dua,
ada yang hasilnya menunjukkan bahwa MSG memberi efek negatif, ada juga
sebaliknya. Jika pun ada kesepakatan mengenai perlunya kehati-hatian penggunaan
MSG, itu pun hanya pada anak-anak yang memang masih sangat sensitif terhadap
efek MSG.
Berdasarkan hasil penelitian untuk batasan
metabolisme (30 mg/kg/hari), berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan
maksimal 2,5 – 3,5 gram MSG (berat badan 50 – 70 kg), dan tidak boleh dalam
dosis tinggi sekaligus. Dengan kata lain, setiap orang dengan berat tubuh
antara 50-70 kg, tiap hari tidak boleh mengonsumsi lebih dari satu sendok teh
MSG karena volume rata-rata berisi 4 - 6 gram MSG.
Yang menjadi persoalan, setiap hari kita
mengkonsumi beragam jenis makanan yang sebagian di antaranya tidak diketahui
status kadar kandungan MSG di dalamnya. Tiap hari kita mengonsumsi sayur dengan
bumbu MSG, namun pada hari yang sama kita juga mengonsumi bakso, fast food,
hingga snack yang jelas-jelas hampir 100 persen mengandung MSG. Sudah
begitu, setiap produk snack hampir tidak mencantumkan berapa komposisi
MSG di dalamnya. Persoalan lainnya, kini banyak garam kemasan yang diperkaya
MSG sehingga tanpa disadari setiap hari kita mengonsumi MSG jauh dari takaran
yang dibolehkan.
Lidah kita memang sudah kadung mengecap lezatnya
”si rasa kelima” MSG. Reseptor rasa sedap di otak kita juga sudah terjebak pada
ketergantungan kepada MSG. Sehari makan tanpa bumbu MSG, seolah ada yang hilang
dan rasa belum lengkap. Kita memang belum tahu pasti bagaimana dampak MSG
terhadap kesehatan, terutama efek jangka pendek. Yang bijaksana adalah tetap
makan secukupnya. (Syarifah, S.P./dari berbagai sumber)***
Komentar
Posting Komentar